dakwatuna.com – “Katakanlah: “Inilah jalan 
(agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada 
Allah dengan hujjah (argumentasi) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku 
tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf: 108)
Kata 
kunci dari ayat ini seharusnya adalah kata “Bashirah” yang merupakan 
acuan  profesionalitas dalam Islam. Semakin luas dan tajam bashirah 
seseorang, akan semakin profesional menggeluti bidang kerjanya. Apalagi 
konteks ayat ini jelas dalam konteks dakwah yang merupakan pekerjaan 
yang paling mulia. 
Dalam ayat ini Allah mendampingkan proses kewajiban 
dakwah dengan bashirah sebagai sebuah faridhah syar’iyyah yang dituntut 
oleh Islam. Justru kehidupan ini diciptakan oleh Allah diantaranya 
memang untuk menguji siapa yang benar-benar ihsan (baca: profesional) 
dalam beramal. 
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
 siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2).
Ibnu 
Katsir mengidentifikasi bashirah sebagai sebuah keyakinan yang 
berlandaskan argumentasi syar’i dan aqli yang kokoh, serta  tidak taklid
 buta. Menurut Syaukani, bashirah adalah pengetahuan yang mampu memilah 
yang hak dari yang bathil, yang benar dari yang salah dan begitu 
seterusnya. 
Inilah bangunan profesionalisme dalam dakwah yang tegaskan 
oleh ayat di atas; yaitu beramal dan berdakwah atas dasar ilmu, 
keyakinan, tiada keraguan apalagi persepsi yang tidak benar terhadap 
dakwah. 
Disinilah peri pentingnya sebuah pembinaan yang kontinu – 
meskipun – terhadap da’i, karena da’i lah justru inti dari sebuah proses
 dakwah. Bahkan dikatakan dalam sebuah pepatah “beramal tanpa ilmu lebih
 banyak merusaknya daripada memperbaiki”.
Agar rasa dan sikap 
profesionalitas tampil, maka segala aktifitas seseorang harus diawali 
dengan sebuah kesadaran “nawaitu” yang benar. Diawali dengan taubatan 
nasuha yang akan memperbaiki hubungan dengan Allah. Salah dan 
bergesernya niat akan turut mempengaruhi kinerja seseorang dan 
mengakibatkan kerja yang asal-asalan, tidak sempurna dan cenderung apa 
adanya. Sofyan Tsauri pernah mengungkapkan: “Tidak ada sesuatu yang 
lebih aku perhatikan selain dari niat”. 
Inilah rahasianya kenapa setiap 
amal dalam Islam harus didasari niat yang benar dan tulus karena Allah. 
Rasa takut akan pertanggung jawaban dakwah di hadapan Allah juga akan 
turut memperkuat keseriusan dan kejelasan dakwah seseorang. Inilah 
maksud firman Allah swt: 
“(yaitu) orang-orang yang menyampaikan 
risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa 
takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah 
sebagai Pembuat Perhitungan”. (33: 39)
Dalam konteks ini, Dr. Ali 
Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa “Ahliyyatud Du’at” (baca: 
kualifikasi dan profesionalisme para da’i) merupakan persoalan besar 
dalam dakwah yang harus diperhatikan dengan baik dan tidak boleh 
diabaikan dalam keadaan apapun. Karena para da’i dari kalangan nabipun 
merupakan manusia pilihan Allah, 
“Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari
 malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha 
Melihat”.  (Al-Hajj: 75). 
Selanjutnya Ibnu Qayyim merumuskan beberapa 
bangunan profesionalisme dakwah yang ternyata diawali dengan persoalan 
ilmu: Memiliki landasan ilmu atas apa yang ia sampaikan (Al-Ilmu Bima 
Yuballigh) yang diteruskan secara implementatif dengan sikap jujur dan 
benar terhadap apa yang ia sampaikan (Ash-Shidqu Fima Yuballigh) . 
Disinilah kedudukan ilmu sebagai pondasi dalam beramal. “Setiap orang 
yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak, tidak diterima”.
Seorang
 yang profesional adalah seorang yang tekun, sabar dan tahan godaan, 
senantiasa dinamis dan mencari kreatifitas baru dalam berdakwah, karena 
memang ia tidak akan pernah setuju dan rela jika dakwah ini vakum, 
berjalan di tempat dan tidak mendapat tempat di hati umat. Contoh paling
 fenomenal adalah nabi Nuh as. Ditengah penolakan kaumnya, ia tetap 
mencari terobosan baru dalam berdakwah agar keberlangsungan dakwah bisa 
dipertahankan. Ia tetap komit dan tegar, bahkan mencari alternatif 
sarana dakwah yang beragam sesuai dengan kondisi dan tuntutan kaumnya: 
“Nuh berkata: 
“Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam 
dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari 
kebenaran)…… Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada 
iman) dengan cara terang-terangan kemudian sesungguhnya aku (menyeru) 
mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. (Nuh: 5-9).
Disinilah
 profesionalitas kita akan terus diuji dengan beragam ujian sehingga 
akan lahir kaliber manusia yang diabadikan oleh Allah sebagai kelompok 
yang tetap tegar dan jujur dalam dakwah mereka, 
“Di antara orang-orang 
mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan 
kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka
 ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)”. 
(Al-Ahzab: 23). 
Inilah prinsip yang senatiasa dipegang oleh para 
pendahulu dakwah, karena mereka yakin bahwa kecintaan Allah hAnya akan 
dianugerahkan kepada mereka yang beramal dengan tulus, cerdas, tuntas 
dan serius. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah cinta jika 
hambaNya beramal dengan itqan”. Itqan dalam arti berbuat lebih banyak, 
lebih bermutu dan berkualitas dari umumnya orang mampu berbuat dan 
bekerja, seperti yang Allah gambarkan tentang kelompok manusia muhsin 
yang mampu beramal,  lebih tinggi di atas rata-rata kebanyakan manusia 
sanggup beramal. 
“Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah 
orang-orang yang berbuat dengan ihsan. Di dunia mereka sedikit sekali 
tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum 
fajar”. (Adz-Dzariyat: 16-18)
Ruang dakwah ke depan memang akan 
menuntut lebih profesionalisme kita dalam konteks “keilmuan” yang bisa 
dipertanggungjawabkan (bashirah) sehingga dakwah citra dakwah ini akan 
tetap baik seiring dengan permasalahan dan perkembangan dunia global 
yang lebih menantang. Mari ciptakan suasana ilmiyyah yang merupakan 
komponen dasar dari profesionalitas dalam dakwah kita. Allahu a’lam

Tidak ada komentar:
Posting Komentar