Badaris Cengkareng 2 Syawal 1433 Hijriah

Hasan Al-Banna dilahirkan di kota Mahmudiyah, Distrik Bahirah Mesir pada bulan Oktober 1906 M. Orangtua
 beliau adalah seorang ulama besar pada masanya, yaitu Syaikh Ahmad 
Abdur Rahman Al-Banna, yang banyak berkarya di bidang ulumul…
 hadits. Diantara karyanya yang terkenal adalah kitab “Al Fath Ar Rabbany li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad”. Disamping menulis kitab-kitab hadits, beliau juga bekerja memperbaiki jam.
Sejak
 dini Hasan Al-Banna sudah ditempa oleh keluarganya yang taat beragama 
untuk meraih dan memperdalam ilmu di berbagai tempat dan majelis ilmu. Pertama
 kali beliau menggali ilmu di Madrasah Ar Rasyad, kemudian melanjutkan 
di Madrasah ‘Idadiyah di kota Mahmudiyah tempat beliau dilahirkan.
Pada usianya yang masih muda, Hasan Al-Banna sudah memiliki perhatian yang besar terhadap persoalan da’wah. Ia pun mampu beraktifitas untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Bersama teman-temannya di sekolah, dibentuklah perkumpulan “Akhlaq Adabiyah” dan “Al-Man’il Muharramat”. Nampaknya sejak muda ia memang menginginkan da’wah Islamiyah tegak dan kokoh.
Pada
 tahun 1920 Hasan Al-Banna melanjutkan pendidikannya di Darul Mu’allimin
 Damanhur, hingga menyelesaikan hafalan Qur’an diusianya yang belum 
genap 14 tahun. Beliaupun aktif dalam pergerakan melawan penjajah. 
Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum Kairo. Disinilah
 ia banyak mendapatkan wawasan yang luas dan mendalam. Pendidikannya di 
Darul Ulum diselesaikan pada tahun 1927 M, dengan hasil yang memuaskan, 
menduduki rangking pertama di Darul Ulum dan rangking kelima di seluruh 
Mesir dalam usianya yang baru menginjak 21 tahun.
Semenjak
 di Darul Ulum Kairo, Hasan Al-Banna mendapatkan cakrawala berfikir 
lebih luas dan wawasan yang mendalam dan semakin giat dalam amal islami,
 bersama kawan-kawannya ia  melaksanakan da’wah di berbagai tempat, baik di perkumpulan-perkumpulan, kedai kopi ataupun di klab-klab.
Setelah
 menyelesaikan pendidikannya di Darul Ulum Kairo, ia bekerja sebagai 
guru Ibtidaiyah (setingkat SD) di Ismailiyah meskipun mendapatkan 
penawaran untuk melanjutkan pendidikan, namun beliau lebih menyenangi 
menjadi guru di Ismailiyah hingga 19 tahun beliau berkhidmat mengajar 
disana.
Hasan Al-Banna menikah dengan putri salah seorang tokoh Ismailiyah Al Haj Husain As Shuly pada malam 27 Ramadhan 1351 H. Ia kemudian dikaruniai 5 ornag anak, 4 orang anak perempuan yaitu Wafa’, Sinai, Raja dan Hajar. Adapun anak lelaki beliau adalah Ahmad Saiful Islam. Hasan Al-Banna memberikan perhatian yang besar pada pendidikan keluarganya dengan adab dan akhlaq Islam. Hasil perhatiannya terhadap keluarga dapat kita lihat pada anak beliau yang sangat dihormati Ahmad Saiful Islam.
Hal-hal yang mendasari berdirinya da’wah.
Perpindahan
 Al Banna dari tempat kelahirannya Mahmudiyah ke Damanhur kemudian ke 
Kairo membuatnya banyak mengetahui permasalahan situasi dan kondisi umat
 Islam.
Dimasa
 beliau tinggal di Mahmudiyah, daerah yang tenang dan menjaga tradisi 
Islam dan ajarannya, belum terlintas di benaknya bahwa di ibukota Mesir,
 Kairo, banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan yang menurutnya sangat
 parah. Belum pernah terbayangkan olehnya bahwa para penulis terkemuka, 
ulama dan para pakar ada yang bekerja demi kepentingan musuh Islam. 
Ulama sibuk dengan urusan pribadi dan masyarakat umum dalam keadaan 
bodoh. 
Surat
 kabar, majalah dan sarana informasi lainnya banyak memuat dan 
menyebarkan pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam dan 
pornografi. Ia pun melihat kemungkaran di mimbar politik, masing-masing 
partai hanya mementingkan golongannya dan cenderung menjadi ajang 
permusuhan dan perpecahan ummat.
Masyarakat cenderung tergiring menjauhi nilai-nilai luhur, merasa asing dengan nilai-nilai Islam. Begitupun
 di Perguruan Tinggi yang tadinya disiapkan untuk menjadi lampu 
penerang, pusat kebangkitan dan mimbar peradaban, malah menjadi sumber 
malapetaka, pusat kerusakan dan alat penghancur sehingga banyak orang 
memahami bahwa Perguruan Tinggi dan Universitas adalah tempat revolusi 
perlawanan terhadap akhlaq, menentang agama dan memusuhi tradisi yang 
baik.
Kondisi
 muslimin di luar Mesir pun sangat mengelisahkannya. Turki yang tadinya 
menjadi pusat Khilafah Islamiyah, pada tahun 1924 M sudah berubah 
menjadi negara sekuler. Selain Mesir, negeri-negeri Islam di seluruh 
penjuru bumi saat ini kebanyakan dalam keadaan terjajah, walhasil 
perekonomian ummat Islam pun dikuasai oleh orang-orang asing kaum 
penjajah.
Semua
 itu disaksikan oleh Hasan Al-Banna, sementara kondisi dan situasi 
semakin memburuk sehingga menyusahkannya dan ia menjadi gelisah. Sampai 
beliau tidak dapat tidur selama 15 hari di bulan Ramadhan. Akan tetapi 
ia tidak putus asa, tidak menyerah bahkan semakin bersemangat dan 
bertekad untuk berbuat sesuatu agar bisa mengembalikan Khilafah 
Islamiyah, mengusir penjajah dan mengangkat martabat. Dengan 
kesungguhan, kerja yang tak mengenal lelah dan gerakan yang 
berkesinambungan, ia yakin cita-cita luhur itu dapat tercapai.
Hasan
 Al-Banna mulai melakukan aktifitasnya dengan menghubungi para pemimpin,
 tokoh masyarakat dan para ulama. Ia ajak mereka untuk membendung arus 
kerusakan itu. Ia mendatangi Syeik Ad Dajawi salah seorang ulama Mesir 
terkemuka, lalu dijelaskannya permasalahan umat kepada Syeikh tersebut. 
Namun Syeikh ternyata hanya memperlihatkan keprihatinannya saja, 
menurutnya tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan saat ini dengan alasan
 bahwa Mesir sedang dijajah Inggris yang memiliki kekuatan dan 
persenjataan yang dapat menghadapi gerakan apapun yang menentangnya.
 
Hasan
 Al Banna tidak ridho dan tidak puas dengan jawaban Ad Dajawi itu dan 
membuatnya nyaris lemah semangat. Kemudian Syeikh Ad Dajawi mengajaknya 
berziarah ke rumah Syeikh Muhammad Saad yang merupakan salah satu ulama 
terkemuka juga,       disana banyak yang hadir selain Syeikh Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Saad dan Hasan Al-Banna. Kemudian
 Al Banna menjelaskan lagi permasalahan ummat namun Syeikh Ad Dajawi 
memintanya untuk berfikir, tapi Hasan Al Banna seorang pemuda yang 
bersemangat  tinggi berpendapat waktu itu bukan saatnya untuk berfikir tapi untuk berbuat.
Syeikh
 Muhammad Saad pada waktu itu menjamu para tamunya dengan kue-kue khas 
yang dibuat untuk bulan Ramadhan. Para tamu asyik menikmati makan dan 
minuman yang disuguhkan. Pemandangan ini membuat Hasan Al-Banna semakin 
bersedih dan prihatin. Ia memahami bahwa mereka dalam keadaan lalai dari
 kondisi Islam, maka ia berusaha menyadarkan mereka seraya berkata : 
“Wahai Syeikh! Islam sedang diperangi dengan dahsyat, 
sementara para tokoh, pelindung dan para pemimpin ummat sedang 
menghabiskan waktunya dengan kenikmatan seperti ini, apakah kalian 
mengira bahwa Allah tidak akan menghisab apa yang kalian sedang lakukan?
 Jika kalian tahu disana ada pemimpin Islam dan pelindungnya selain 
kalian, tunjukilah saya kepada mereka agar saya mendatangi mereka, 
mudah-mudahan saya dapati apa yang tidak ada pada kalian”.
Perkataan
 Hasan Al-Banna menyentuh hati Syeikh Muhammad Saad, sehingga membuatnya
 menangis, hadirin yang lainpun turut menangis. Lalu Syeikh bertanya : 
“Apa yang mesti saya lakukan wahai Hasan …?”
 
Hasan
 Al-Banna kemudian mengusulkan agar Syeikh mengumpulkan nama-nama para 
ulama dan zuama serta para pemuka, lalu mereka diundang untuk suatu 
pertemuan dalam rangka memikirkan dan memusyawarahkan apa-apa saja yang 
harus mereka lakukan. Sekalipun hanya menerbitkan majalah mingguan untuk
 mengimbangi majalah-majalah yang ada atau membentuk perkumpulan yang 
dapat menampung para pemuda.
Syeikh
 setuju atas usulan Hasan Al-Banna itu dan ia mencatat sebagian nama 
ulama terkemuka seperti : Syeikh Yusuf Ad Dajawi, Syeikh Muhammad 
Khudlori Husain, Syeikh Abdul Aziz Jawis, Syeikh Abdul Wahab Najjar, 
Syeikh Muhammad Khudlori, Syeikh Muhammad Ahmad Ibrahim, Syeikh Abdul 
Aziz Khuli, dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridho.
Sementara
 dari kalangan tokoh terkemuka, seperti : Ahmad Taimur Pasya, Nasim 
Pasya, Abu Bakar Yahya Pasya, Abdul Aziz Muhammad Pasya, Mutawalli 
Ghonim Bik, dan Abdul Hamid Said Bik.
Mereka
 semua diundang untuk suatu pertemuan dan terlaksanalah pertemuan demi 
pertemuan, sehingga dapat menerbitkan majalah “Al-Fath” yang dipimpin 
oleh As-Sayid Muhibuddin Khattib dengan pimpinan redaksinya Syeikh Abdul
 Baki Surur. Perkumpulan dan kegiatan ini terus berlangsung sampai Hasan
 Al Banna lulus kuliah dari Darul Ulum dan terus menggerakkan beberapa 
orang pemuda sehingga terbentuklah Jam’iyyah Syubanul Muslimin.
Hasan
 Al Banna juga berhasil mengumpulkan beberapa ulama dan tokoh masyarakat
 terkemuka, dan terbentuklah Jama’ah Islamiyah yang menyeru untuk 
menghadapi arus gelombang kehidupan materialis, membatasi kegiatan 
maksiat dan kekufuran. 
Akan
 tetapi Hasan Al Banna melihat aktifitas jama’ah itu tidak cukup, dimana
 kegiatannya terbatas pada menyampaikan ceramah atau nasehat di 
masjid-masjid dan menulis artikel di majalah-majalah, akan tetapi siapa 
yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak ke masjid yang 
sebenarnya mereka lebih berhak dari pada orang-orang yang aktif ke 
masjid. Siapa yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak membaca koran dan majalah. Dengan demikian harus adanya kader yang siap berda’wah ke berbagai lapisan masyarakat.
Hasan Al-Banna melihat bahwa yang dapat melaksanakan tugas berat itu adalah para mahasiswa Al-Azhar dan Darul Ulum. Ia kemudian  mengumpulkan
 beberapa orang rekannya untuk berlatih berpidato, khotbah di masjid, 
berda’wah di warung-warung kopi dan tempat-tempat umum, kemudian pergi 
ke kampung-kampung. Diantara mereka yg terlibat dalam aktivitas ini adalah Syeikh Muhammad Madkur, Syeikh Hamid Askari dan Syeikh Ahmad Abdul Hamid.
Setelah
 mereka berlatih dan siap terjun ke lapangan, Al Banna mengajak 
rekan-rekannya untuk berda’wah ke warung-warung kopi dengan 
memperhatikan tiga hal : Memilih tema yang sesuai; Sistem penyajian yang menarik; Memperhatikan waktu dan jangan sampai membosankan.
Peristiwa berdirinya Jama’ah Al-Ikhwanul Muslimin.
Pada
 bulan September tahun 1927 M, Hasan Al Banna diangkat menjadi guru SD 
di Kota Isma’iliyah, disanalah beliau memulai da’wahnya, di 
warung-warung kopi kemudian pindah ke masjid. Da’wah yang 
dilakukannya di warung-warung kopi ini bukan pengalaman yang pertama 
baginya, tapi beliau sudah terbiasa da’wah di tempat-tempat seperti ini,
 ketika beliau masih mahasiswa di Darul Ulum, Kairo.
  
Da’wah
 Hasan Al Banna mendapat sambutan dari para pengunjung warung-warung 
kopi, sehingga sebagian diantara mereka bertanya kepadanya tentang apa 
yang harus dilakukan demi agama dan tanah air.
Setelah
 beberapa lama berda’wah di warung-warung kopi kemudian Hasan Al Banna 
pindah dari warung kopi ke mushalla (Zawiyah). Di Zawiyah inilah beliau 
berbicara dan mengajarkan praktek ibadah, dan meminta kepada mereka agar
 meninggalkan kebiasaan hidup boros bermewah-mewahan. Para pendengar menyambutnya dengan baik.
Hasan
 Al Banna juga memperluas interaksinya kepada seluruh unsur yang 
berpengaruh terhadap masyarakat, yaitu para ulama, Syaikh kelompok sufi,
 tokoh masyarakat (wujaha), dan berbagai perkumpulan-perkumpulan.
Pada
 bulan Dzul Qo’dah tahun 1347 H atau bulan Maret 1928 M, datanglah 6 
orang laki-laki yang tertarik dengan da’wah Hasan Al-Banna, mereka 
adalah: Hafiz Abdul Hamid (tukang bangunan), Ahmad Al Hushor (tukang 
cukur), Fuad Ibrahim (tukang gosok pakaian), Ismail Izz (penjaga kebun),
 Zaki Al Maghribi (tukang rental dan bengkel sepeda), dan Abdurrahman 
Hasbullah (supir).
Mereka
 berbicara kepada Hasan Al-Banna tentang apa yang harus mereka lakukan 
demi agama dan mereka menawarkan sebagian harta milik mereka yang 
sedikit. Mereka pun meminta Hasan Al-Banna menjadi pimpinan mereka. Lalu
 mereka berbai’at kepadanya untuk bekerja demi Islam dan mereka 
bermusyawarah tentang nama perkumpulan mereka. Imam Al Banna berkata : “Kita ikhwah dalam berkhidmat untuk Islam, dengan demikian kita Al Ikhwanul Muslimin”.
Kemudian mereka menjadikan kamar di suatu rumah sewaan yang sangat sederhana sebagai “Kantor Jama’ah” dengan mengambil nama Madrosah At Tahzab. Disanalah Hasan Al-Banna mulai meletakkan manhaj tarbawi bersama pengikut-pengikutnya, manhaj tarbawi pada waktu itu adalah :
1. Al-Qur’anul Karim (tilawah dan hafalan).
2. As Sunnah An Nabawiyah (menghafal sejumlah hadits).
3. Pelatihan khutbah.
4. Pelatihan mengajar untuk umum.
Setelah
 beberapa bulan jumlah pengikut jama’ah menjadi 76 orang, kemudian terus
 bertambah.Dan mereka mendermakan harta mereka untuk da’wah sampai dapat
 membeli sebidang tanah untuk dibangun diatasnya markas jama’ah: Darul Ikhwanul Muslimin, terdiri dari 1 masjid, 1 sekolah untuk putra, 1 sekolah untuk putri, dan nadi (tempat pertemuan) ikhwan.
Pertumbuhan pesat da’wah ikhwan sejak awal.
Pada bulan Oktober tahun 1932 M, Hasan Al-Banna dimutasi kerja oleh Pemerintah ke Kairo sebagai guru di Madrasah Abbas I, Distrik Sabtiah. Perpindahan kerja ini menjadi peluang baginya untuk membawa da’wah ke Kairo ibukota Mesir.
Di Kairo Hasan Al Banna dan ikhwan memilih rumah di jalan Nafi No.24 sebagai Markaz Amm, dan ia tinggal bertempat di lantai atas selama 7 tahun da’wah di Kairo dari tahun 1932 sampai 1939 M.
 
Markaz Amm mengalami beberapa kali pindah :
1. Di jalan Nafi No.24
2. Di rumah di Suqus Silah
3. Di jalan Syamasyiji No.5
4. Di jalan Nashiriyah No.13
5. Di jalan Medan Atobah No.5 di perumahan wakaf
6. Di jalan Ahmad Bik Umar di Hilmiyah
Di
 Kairo disamping banyaknya partai politik yang bersaing untuk menjadi 
partai yang berkuasa, didapati pula banyak organisasi Islam dan non 
Islam.
Di
 tengah-tengah kehidupan Kairo, da’wah ikhwan terus meluncur membuktikan
 keberadaannya, efektifitasnya dan menarik banyak pengikut dan 
pendukungnya serta membuka syu’bah-syu’bah baru.
Da’wah di Kairo belum sampai satu tahun Hasan Al-Banna telah mampu menyebarkan da’wah di seluruh kota Kairo dan telah membuka syu’bah-syu’bah baru lebih dari 50 kabupaten, dimana Ia
 mendatangi perkampungan negeri Mesir untuk berda’wah tidak mengenal 
letih, apalagi malas, hal itu dilakukannya disaat-saat musim liburan 
sekolah.
Sekilas pintas pribadi Mursyid
 
Profesi dan pekerjaannya.
Hasan Al-Banna adalah guru SD (Ibtidaiyah), beliau disiplin melaksanakan tugasnya dengan optimal dan maksimal, Ia belum pernah terlambat datang ke sekolah (tempat kerja), karena merasakan ni’mat dan kebahagiaan dalam bekerja. Ia meyakini bahwa Allah telah menciptakannya menjadi pendidik.
Hasan Al-Banna disenangi dan dihormati oleh murid-murid, para guru, kepala sekolah dan karyawan. Mereka pun mencintai da’wah Al Banna. Mereka
 berkeinginan membantunya, agar mempunyai banyak waktu untuk mengemban 
tugas da’wah, akan tetapi beliau bersikeras melaksanakan tugasnya dengan
 sempurna tanpa membebani orang lain.
Bila
 ada ikhwan yang menelponnya ketika dia sedang mengajar di kelas, 
kemudian petugas memberitahukannya ada orang yang menelponnya, lalu ia 
berpesan kepada petugas tersebut : “Katakan kepadanya, saya sedang mengajar dan tidak dapat meninggalkan kelas sebelum selesai jam pelajaran”.
Tugas Rumah.
Hasan Al Banna melaksanakan tugasnya di rumah sebagai kepala keluarga, suami, ayah dengan baik, tidak pernah terjadi pertengkaran dalam rumahnya. Ia memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya, juga membantu pekerjaan istrinya di rumah sekalipun dengan kesibukan da’wahnya. Ia mengetahui kebutuhan rumah, dan tiap hari mencatat kebutuhan rumah tangga, sehingga ia mengetahui kapan disimpan barang seperti bawang, minyak dan lain-lain.
Aktifitas Da’wah.
Da’wah bagi Hasan Al Banna menjadi alasan hidupnya, dan semua kehidupannya da’wah, siang dan malam kesibukannya adalah da’wah. Da’wah memenuhi hati dan pikirannya, sehingga da’wah terlihat jelas pada pribadinya, bila berbicara, berbicara dengan da’wah dan untuk da’wah. Dan
 bila diam, diamnya da’wah, bila bergerak demi da’wah, cinta dan 
bencinya karena da’wah dan bila tertawa atau menangis karena da’wah.
Hasan
 Al Banna tidak hidup untuk dirinya sendiri, tidak menyimpan uang, 
tenaga waktu dan kesehatannya kecuali untuk da’wah, semua gajinya 
dijadikan untuk da’wah, tidak dikurangi kecuali untuk kepentingan 
keluarga yang pokok, Ia mengambil standar minimal/terendah untuk hidupnya. Hasan
 Al Banna menjadikan hidupnya untuk da’wah, ucapan, diam, gerak, bangun,
 tidur, suka, benci, tulisan, bacaan, pikirannya semua untuk Islam.
Ranjau-Ranjau Sepanjang Perjalanan Da’wah Imam Hasan Al-Banna.
Ketika dua aktifis Ikhwan di Thontho, Muhammad
 Abdussalam dan Jamaluddin Fakih dituduh oleh rezim sebagai pelopor 
gerakan subversib dan ini adalah awal mihnah yang menimpa jamaah maka Hasan Al-Banna
 segera mengadakan lobi dengan lembaga bantuan hukum untuk mengadakan 
pembelaan secara maksimal dan mengerahkan seluruh ikhwan agar memiliki 
perhatian serta mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung 
bahkan Ia
 sendiripun selalu mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung 
dan sekaligus membantah tuduhan yang ditujukan kepada dua aktifis maupun
 kepada jamaah dengan lewat mass media internal maupun external.
Dengan upaya yang maksimal dan dukungan seluruh fihak akhirnya kedua aktifis dinyatakan bersih dari tuduhan. Keprihatinan Hasan Al Banna terhadap peristiwa itu terungkap: “Sesungguhnya
 masalah ini membikin aku gelisah untuk tidur, karena aku tahu bahwa hal
 ini benar-benar telah dipersiapkan secara matang, mereka memiliki dan 
menguasai seluruh perangkatnya, mulai dari birokrasi, hakim, hingga 
saksi-saksi palsu dan apabila mereka berhasil meringkus kedua aktifis 
kita kedalam penjara dengan tuduhan subversif, maka da’wah al ikhwan 
akan punah dimata masyarakat”.
Memang Hasan Al Banna mengajarkan kepada Al-Ikhwan
 untuk menjadi generasi yang pemberani dalam kebenaran, menganggap para 
penjajah adalah musuh dan bentuk perbudakan yang paling buruk sepanjang 
sejarah manusia, mereka begitu semangat dan berebut untuk mendapatkan 
izin menuju Palestina untuk meraih syahadah ketika DK PBB pada tahun 
1948 secara resmi membagi tanah Palestina menjadi dua. Hasan Al-Banna sendiri dalam pidatonya dimuka khalayak ramai di hotel intercontinental mengatakan, “Pembagian Palestina menjadi dua adalah tanda bahwa dunia telah tidak waras”. Hal
 serupa juga pernah disampaikan kepada pemerintah Inggris lewat 
perwakilannya di Kairo tahun 1939 M, bahwa ummat Islam akan 
mempertahankan Palestina hingga titik darah terakhir.
 
Hasan Al-Banna
 juga seorang yang lembut hati, hidupnya hanya untuk perhatian da’wah 
dan para ikhwannya, ketika seorang akhwat menderita sakit, beliau 
sendiri menghubungi dokter dan ketika sang dokter sedang menulis resep 
obat lalu beliau mencolek kepada Mahmud Abdul Halim untuk meminjam uang 
untuk menebus obat karena tak sepeser junaihpun ada ditangannya.
Perlawanan
 para ikhwan menghadapi penjajah Inggris atas intervensinya terhadap 
kota Isma’iliyah awal perang dunia kedua 1939 M merupakan bukti keberanian mereka. Melihat
 keberhasilan Hasan Al Banna dengan jamaahnya yang cukup gemilang, 
dimana pada waktu yang relatif singkat fikroh ikhwan telah mampu 
mempengaruhi dan mewarnai di berbagai bidang ekonomi, sosial politik dan
 keagamaan, khususnya sikap masyarakat luas terhadap Palestina dan 
penjajah, maka Inggrispun sangat gerah terhadap Hasan Al Banna dan 
sangat berkepentingan untuk membunuhnya dan membubarkan jamaahnya.
Untuk merealisasikan mimpi Inggris itu pada tanggal 10 Nopember 1948 M ‘tiga segitiga setan’ mengadakan pertemuan secara rahasia, mereka adalah Inggris, Amerika dan Perancis di Paid, memutuskan agar Al-Ikhwan Al-Muslimun
 segera dibubarkan. Sebulan kemudian tepat pada tanggal 8 Desember 1948 
datang SK militer yang berisikan pembubaran terhadap jamaah.
Rupanya
 pembubaran jamaah tidak berdampak terhadap aktifitas dan keberadaannya 
di tengah-tengah masyarakat, justru pembelaan dari masyarakat luas 
semakin kentara dari hari ke hari, kewibawaan dan kemampuan Hasan Al 
Banna merekrut masyarakat luas sangat diakui lawannya, kemampuan 
membangkitkan semangat ummat, membuka hati yang tertutup, menghimpun 
kekuatan arus bawah sangat ditakuti lawan. Maka tidak ada 
lagi pilihan lain, kecuali harus merencanakan sebuah makar yang lebih 
besar yang belum pernah terpikir di benak mereka yaitu dengan membunuh 
pendirinya.
Sejak itu rezim Faruq benar-benar memperhitungkan langkah untuk menguasai Hasan Al Banna :
1. Dengan memenjarakan seluruh anggota Al-Ikhwan
 dan membiarkan Hasan Al Banna seorang diri agar masyarakat luas 
menganggap bahwa rezim masih memiliki rasa tolerir terhadapnya,
 padahal itu sebuah siksaan batin, setiap harinya hanya tangisan ribuan 
anak kecil dan rintihan ibu-ibu yang didengarnya, menengok kanan dan 
kiri tidak ada yang peduli seakan-akan seluruh rakyat telah diintimidasi
 oleh rezim, takut untuk melakukan sebuah kebaikan, siapa bersedekah akan mati, siapa menolong orang yang kelaparan dianggap pemberontak. Hasan Al-Banna hanya mampu mengumpulkan sebesar 150 junaih Mesir (+ $.140) setelah upaya sana sini dan itupun hasil hutang dari salah seorang teman.
2. Setelah
 perasaan yang mencekam benar-benar menyelimuti seluruh rakyat Mesir, 
polisi intel segera memenjarakan adik kandung Hasan Al Banna, Abdul 
Basith yang merupakan anggota polisi, padahal adiknya ini bukan anggota Al-Ikhwan. Hal itu dilakukan untuk mempermudah penangkapan terhadap Hasan Al-Banna kapan mereka menginginkannya. Sebenarnya Hasan Al-Banna telah mencium makar terhadap dirinya. Namun justru keberanian dan perasaan tidak takut mati semakin lebih nampak lagi, terutama setelah di suatu malam ia mimpi bertemu dengan Sayyidina Umar bin Khattab yang berkata padanya: “Wahai Hasan, kau akan dibunuh!”. Ketika Hasan Al-Banna
 mengajukan untuk tinggal di luar kota Kairo bersama saudaranyapun tidak
 diizinkan, hal itu semakin memperjelas makar yang dirancang oleh rezim 
untuk meringkusnya secara perlahan.
3. Setelah seluruh persenjataan ikhwan, dan kekayaannya termasuk pistol dan mobil pribadi Hasan Al-Banna yang statusnya pinjaman itu disita oleh penguasa yang serakah, maka tinggal episode yang terakhir. Mereka merekayasa sebuah pertemuan antara Hasan Al-Banna dengan Mohammad An Naqhi (salah satu pengurus Dar Asy-Syubban) pada hari Jum’at tanggal 11 Desember 1949 M pukul 17.00. Namun
 hingga pukul 20.00 masalah yang diagendakan belum ada kejelasan yaitu 
salah seorang menteri yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan 
masalah Ikhwan, lalu pulanglah ia dengan menantunya Ustadz Mansur dengan komitmen akan datang kembali esok harinya, namun tiba-tiba ia
 dapati suasana yang sungguh lain, di jalan protokol “Quin Ramses” yang 
biasanya ramai dengan hiruk pikuk lalu lintas lalu lalang manusia saat 
itu tak sebuah mobil dan seorangpun yang lewat kecuali sebuah taxi yang 
menongkrong di depan gerbang pintu Dar Asy Syubban. Toko-toko dan rumah-rumah makan yang berdekatan juga sudah tutup. Kecurigaan
 semakin tinggi ketika baru akan melangkahkan kaki menuju jalan raya 
tiba-tiba seluruh lampu penerang jalan mati, saat itulah peluru api 
meluncur sebagian mengenainya dan peluru yang lain mengenai Ustadz Mansur. Namun Hasan Al-Banna masih kuat untuk naik sendiri menuju gedung Dar Asy Syubban memutar telepon untuk meminta pertolongan ambulance, meskipun demikian ia kemudian terlantar di salah satu kamar Rumah Sakit “Qosr Aini” karena tak
 seorangpun dari perawat atau dokter yang berani menolongnya sekalipun 
banyak dokter muslim yang ingin merawatnya, namun kepala RS tidak 
mengizinkan atas perintah kerajaan. Dering telepon tak henti-hentinya untuk meyakinkan kematian Hasan Al-Banna hingga ia menemui robbul izzah dengan kepahlawanannya.
Tepat hari Sabtu malam Minggu tanggal 12 Desember 1949 beliau pulang ke Rahmatullah. Terselimutilah
 di hari itu langit dunia dengan kesedihan yang mendalam karena 
kematiannya berarti hilangnya seorang pembela kebenaran penegak keadilan
 di tengah-tengah kelaliman. 
Pagi harinya hari Minggu tanggal 12 Desember 1949 sampailah berita kematian kepada orang tuanya Syaikh Ahmad Al Banna. Yang
 lebih menyedihkan rezimpun tidak mengizinkan ummat Islam untuk merawat 
jenazahnya dan berta’ziyah ke rumah shohibul musibah. Untuk menunjukkan keangkuhan serta kedengkiannya terhadap Hasan Al-Banna mereka
 susun penjagaan militer secara ketat yang siap untuk bertempur dan 
tank-tank yang seakan-akan menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat. Tidak seorangpun diizinkan membawa jenazahnya menuju makam kecuali orang tuanya beserta kedua saudari perempuannya.
Jamaah Al-Ikhwan yang telah didirikan diatas genangan darah Hasan Al-Banna dan di ukir dengan darah para syuhada akankah ditunggu oleh ummat seluruh dunia sebagai pahlawan penegak kebenaran, pendobrak kebatilan dan pembawa bendera Khilafah Islamiyah? Jawabannya tentu tergantung kepada kualitas nilai dan pengorbanan para penerusnya.